Selasa, 16 September 2014

EFUSI PLEURA

EFUSI PLEURA I. DEFINISI Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis. Efusi pleura merupakan salah satu kelainan yang mengganggu sistem pernafasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit. (Muttaqin, 2008) Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer & Brunner, 2002). A. DIAGNOSIS 1. Radiografi dada memperlihatkan efusi. Akan hilang pada posisi berbaring jika berlokulasi. Bisa terdapat cairan dalam fisura-fisura, didapatkan penumpulan sudut kostofrenikus. 2. Pleurosentesis. Kirim cairan untuk pemeriksaan berat jenis, Ph, glukosa, hitung sel, diagnosis banding, amilase, protein total, LDH, biakan kuman aerob, anaerob dan mikrobakterium, pewarnaan Gram, pewarnaan basil tahan asam, analisis sistologik, CEA jika diindikasikan. 3. Pembedaan secara laboratorium. i. Berat jenis. Kurang dari 1,016 menunjukkan transudat. ii. Protein. Kurang dari 3g/dl menunjukkan transudat. iii. Perbandingan protein cairan pleura terhadap protein serum.

Sabtu, 11 Januari 2014

gagal ginjal kronik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan sekarang dikenal sebagai kondisi umum yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan gagal ginjal kronis (CRF). Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yang luas yakni kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Pada kedua kasus tersebut, ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Meskipun ketidakmampuan fungsional terminal sama pada kedua jenis gagal ginjal ini, tetapi gagal ginjal akut mempunyai gambaran khas dan akan dibahas secara terpisah. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Pada awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus (glomerulonefritis), sedangkan jenis yang lain terutama menyerang tubuls ginjal (pielonefritis atau penyakit polikistik ginajl) atau dapat juga mengganggu perfusi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Namun, bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan diganti dengan jaringan parut. Meskipun penyebabnya banyak, manifestasi klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu sama lain karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan yang tidak pasti tidak adapat dielakkan lagi B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi dari gagal ginjal kronik ? 2. Apa etiologi gagal ginjal kronik ? 3. Apa patofisiologi gagal ginjal kronik ? 4. Bagaimana gambaran pathway gagal ginjal kronik ? 5. Apa manifestasi gagal ginjal kronik ? 6. Apa penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik ? 7. Apa pemeriksaan diagnostik gagal ginjal kronik ? 8. Apa komplikasi gagal ginjal kronik ? C. Tujuan Agar mahasiswa-mahasiswi dapat memahami dan mengerti mengenai definisi dari gagal ginjal kronik, etiologi gagal ginjal kronik , gambaran pathway gagal ginjal kronik , patofisiologi gagal ginjal kronik , manifestasi gagal ginjal kronik, penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik, pemeriksaan diagnostik gagal ginjal kronik, dan komplikasi gagal ginjal kronik. BAB II PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIK I. KONSEP DASAR PENYAKIT a. Definisi Penyakit Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah proses kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan. CKD dapat menimbulkan simtoma berupa laju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD pada penderita kelainan bawaan seperti hiperoksaluria dan sistinuria. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah penyimpanan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia. Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001) b. Etiologi Penyakit ginjal terminal (end stage renal disease/ESRD) merupakan kelanjutan dari Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan keseimbangan substansi tubuh (akumulasi cairan dan produk sisa) dengan menggunakan penanganan konservatif. ESDR terjadi bila fungsi ginjal yang masih tersisa kurang dari 10%. Penyebab gagal ginjal kronis sebagai berikut: Klasifikasi Penyakit Penyakit Penyakit infeksi saluran kemih Pielonefritis kronik atau refluks netropati Penyakit Peradangan Glomerulonefritis Penyakit Vaskuler hipertensif Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, dan Stenosis Arteria renalis. Gangguan Jaringan Ikat Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis nodosa, Sklerosis sistemik progresif Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polisikistik dan Asidosis tubulus ginjal. Penyakit metabolic Diaetes mellitus, Gout, Hiperparatiroidisme, amiloidosis Netropati toksik Penyalahgunaan analgesik dan Netropati timah. Netropati obstruktif Traktus urinarius bagian bawah, hipertrofi prostat, stiktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra. c. Patofisiologi Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup : 1. Penurunan cadangan ginjal; Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi 2. Insufisiensi ginjal; Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis 3. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. 4. Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogjakarta: Nuha Medika) Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368) Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448). Dua pendekatan teoritis yang biasanya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada Gagal ginjal Kronis: 1. Sudut pandang tradisional Mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi –fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya, misalnya lesi organic pada medulla akan merusak susunan anatomic dari lengkung henle. 2. Pendekatan Hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh Berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul bila jumlah nefron yang sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan. Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan percepatan filtrasi, beban solute dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang terdapat dalam ginjal turun dibawab normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang rendah. Namun akhirnya kalau 75 % massa nefron telah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang. d. Pathway Terlampir e. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik menurut Smeltzer (2001) antara lain: 1. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natiurm dari aktivitas sistem renin-agiotensin-aldosteron) 2. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner (akibat cairan berlebihan) 3. Perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan , kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesdaran, tidak mampu berkonsentrasi) (Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta:EGC) Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: 1. Gangguan kardiovaskuler hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. 2. Gangguan pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels. 3. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. 4. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas). 5. Gangguan integumen Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. 6. Gangguan endokrin Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D 7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia. 8. Sistem Hematologi Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat kurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni. f. Komplikasi 1. Komplikasi keseimbangan cairan (kelebihan cairan atau penurunan volume I intravascular) 2. Komplikasi akibat ketidakseimbangan elektrolit (disritmia jantung, henti jantung, kejang) 3. Komplikasi kardiovaskuler (gagal jantung kongestif, hipertensi, hipertrofi ventrikel sinistra, aritmia, henti jantung, hipotensi dengan dehidrasi) 4. Komplikasi neurologi (perubahan tingkat kesadaran, kejang, koma) 5. Komplikasi pernapasan (kelebihan cairan edema paru, gagal napas) 6. Perdarahan dan anemia 7. Hipoglikemia 8. Infeksi 9. Kerusakan kulit 10. Retinopati hipertensif 11. Malformasi tulang dan gigi 12. Malnutrisi dan retardasi mental 13. Keterlambatan perkembangan seksual BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan a. Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. b. GGK disebabkan oleh penyakit infeksi saluran kemih, peradangan, vaskuler hipertensif, jaringan ikat, kongenital dan herediter, metabolic, netropi toksik, netropati obstruktif. c. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup : penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal, penyakit gagal ginjal stadium akhir d. Manifestasi klinik GGK yaitu : Hipertensi, Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner, Perikarditis DAFTAR PUSTAKA Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI) http://id.wikipedia.org/wiki/Gagal_ginjal_kronis Diane, JoAnn. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC A. Price, Sylvia & M. Wilson, Lorraine. 2005. Edisi 6. Vol.2. Gagal Ginjal Kronik.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogjakarta: Nuha Medika) Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta:EGC

Selasa, 07 Januari 2014

asuhan keperawatan pnemonia

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Definisi pneumonia ataupun pneumonitis merupakan proses peradangan pada partenkim paru-paru, yang biassanya dihubungkan dengan meningkatnya cairan pada alveoli. Istilah pneumonia lebih baik digunakan dari pada pneumonitis karena sering digunakan untuk menyatakan peradangan pada paru-paru non spesifik yang etiologinya tidak diketahui. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang banyak didapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir diseluruh dunia. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia sering kali oada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu. Klien bedah, peminum alkohol, dan penderita penyakit pernafasan kronik atau infeksi virus juga sangat mudah terserang penyakit ini.

B. Tujuan
1. menjelaskan pengertian dari penyakit pneumonia
2. menerangkan etiologi dari pneumonia
3. menjabarkan manifestasi klinik
4. mengertahui pemeriksaan diagnostik penderita pneumonia
5. mengetahui penatalaksaan medis dan non medis dari pnemonia
6. mrngetahui komplikasi dari pneumonia
7. menggambarkan pathway dari pneumonia
8. menjelaskan patofisiologis pneumonia
Menjabarkan dan menjelaskan asuhan keperawatan penderita pneumonia






BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PNEUMONIA
A.    Pengertian
Pneumonia adalah suatu proses peradangan di mana terdapat konsolidasi  yang di sebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi, begitupun dengan aliran darah di sekitar alveoli, menjadi terhambat dan tidak berfungsi maksimal. Hipoksemia dapat terjadi, bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang sakit. ( Irman Somantri, 2009 )
B.     Etiologi
1.      Jenis pneumonia    : Sindroma Tipikal
Etiologi                 : Streptoccocus pneumonia tanpa penyulit, Streptococcus pneumonia dengan penyulit.
Faktor resiko         : Sickle cell diseases, Hipogammaglobulinemia, Multipel mieloma.
Tanda dan gejala   : Onset mendadak dingin, menggigil, demam (39-40’C). nyeri dada pleuritis, batuk produktif, sputum hijau dan puluren serta  mungkin mengandung bercak darah. Terkadang hidung kemerahan, retraksi interkostal,penggunaan otot aksesorius, dan bisa timbul sianosis.
2.      Jenis pneumonia    : Sindroma Atipik
Etiologi                 : Haemophilus, Influenzae, Staphiloccocus aureus, Mycoplasma Pneumonia.Virus Patogen.
Faktor resiko         : Usia tua, COPD, Flu, anak-anak, dewasa, muda.
Tanda gejala          : Onset bertahap dalam 3-5 hari, malaise, nyeri kepala,nyeri  tenggorokan,dan batuk kering, nyeri dada karena batuk.
3.      Jenis pneumonia    : Aspirasi
Etiologi                 : Aspirasi basil gram negatif, klebsiela pseudomonas, enterobacter,Escherichia proteus,basil gram positif, Stafilococcus, Aspirasi asam lambung.
Faktor Resiko         : Alkoholismedebilitas, perawatan (misal infeksi nosokomial, gangguan kesadaran.
Tanda dan gejala     : Pada kuman anaerob campuran,mulanya onset perlahan, demam rendah,batuk, produksi sputum/bau busuk, foto dada terlihat jaringan interstitial tergantung bagian yang parunya yang terkena, infeksi garam negatif atau positif, gambaran klinik mungkin sama dengan pneumonia, distres respirasi mendadak,dispnea berat,sianosis,batuk,hipoksemia,dan diikuti tanda infeksi sekunder.
4.      Jenis pneumonia    : hematogen
Etiologi                 : terjadi bila kuman patogen menyebar ke paru-paru melalui aliran darah,seperti pada kuman stafiloccocus,E. Coli,anaerob enterik.
Faktor resiko         : Kateter IV yang terinfeksi, endokarditis, drug abuse. abses intraabdomen, pielonefritis. Empiema kandung kemih,
Tanda dan Gejala : gejala pulmonal timbul minimal dibanding gejala septikemi, batuk non produktif dan nyeri pleuritik sama seperti yang terjadi pada emboli paru.
( Irman Sumantri, 2009 )
C.    Manifestasi Klinik
Tanda-tanda klinis utama adalah hal-hal berikut :
1.      Batuk
2.      Dispneu
3.      Takipneu
4.      Sianosis
5.      Melemahnya suara nafas
6.      Retraksi dinding thorax
7.      Napas cuping hidung
8.      Nyeri abdomen (disebabkan oleh iritasi oleh paru terinfeksi di dekatnya)
9.      Batuk paroksismal mirip pertusis (umum terjadi pada anak yg lebih kecil)
10.  Anak-anak yang lebih besar tidak tampak sakit
( Asih & Effendy.2004 )



D.    Pemeriksaan Diagnostik
1.      Foto rontgen dada (chest x-ray): teridentifikasi penyebaran, misalnya lobus, bronkial; dapat juga menunjukkan  multipel abses/infiltrat, empiema (staphyloccocus); penyebaran atau lokasi infiltrasi (bakterial); atau penyebaran ekstensif nodul infiltrat (sering kali viral); pada pneumonia mycoplasma, gambaran chest x-ray mngkin bersih.
2.      ABGs/pulse Oximetry: abnormalitas mungkin timbul bergantung pada luasnya kerusakan paru.
3.      Kultur sputum dan darah/gram stain: didapatkan dengan needle biopsy, transtracheal aspiration, fiberoptic bronchoscopy atau biopsi paru terbuka untuk mengeluarkan organisme penyebab. Akan didapatkan lebih dari satu jenis kuman, seperti Diplococcus, pneumoniae, staphyloccocus aureus, A Hemolytic streptoccocus dan Haemophilus influenza.
4.      Hitung darah lengkap/ complete blood count (CBC): leukositosis biasanya timbul, meskipun nilai SDP rendah pada infeksi virus.
5.      Tes serologik: membantu membedkan diagnosis pada organisme secara spesifik.
6.      Laju endap darah (LED): meningkat.
7.      Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar), tekanan saluran udara meningkat, compliance menurun, dan akhirnya dapat terjadi hipoksemia.
8.      Elektroli: sodium dan klorida mungkin rendah.
9.      Bilirubin: mungkin meningkat. ( Irman Somantri, 2009 )
E.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis :
1.      Penisilin 50.000 u/KgBB/hari ditambah dengan kloramfenikol 50-70 mg/KgBB/hari atau diberikan antibiotik yang memiliki spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas selama demam 4-5 hari.
2.      Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glikosa 5% dan nacl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500ml/botol infus
3.      Karena sebagian pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dan hipoksia maka dapat dikoreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri.
Penatalaksanaan non medis :
Klien diposisikan dalam keadaan semi fowler dengan sudrhubungan dengan 45áµ’. Kematian sering kali berhubungan dengan hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, penekanan susunan saraf pusat, maka penting untuk dilakukan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dengan baik, pemberian O2 di alveoli arterri dan mencegah hipoksia seluler. Pemberian O2 sebaiknya dengan konsentrasi yang tidak beracun ( PO240 ) untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar 60-70 mmHg dan juga penting menganalisa gas darah.  ( Arif Muttaqin, 2008 )
F.     Komplikasi
1.      Pneumonia interstisial menahun
2.      Atelektasisi segmental atau lobar kronik
3.      Rusaknya jalan nafas
4.      Efusi pleura
5.      Klasifikasi paru
6.      Fibrosis paru
7.      Bronkitis obliteratif dan brokiolitis
8.      Atelektasi persisten.
( Arif Muttaqin, 2008 )











G.    Pathway
Inhalasi mikroba dengan jalan
·         Melalui udara
·         Aspirasi organisme dari naso faring
·         Hematogen
Nyeri dada
Panas dan demam
Anoreksia pausea vomit
Reaksi inflamasi hebat
Nyeri pleuritis
Membran paru-paru meradang dan berlubang
Pleuritik pain W
SDM Red Blood Count (RBC), SDP White Blood Count
(WBC), dan cairan keluar masuk ke alveoli
Bersih jalan nafas tidak efektif
Sekresi, edema dan prochospasme
Dispanea
Sianosis
Batuk
Risiko penyebaran infeksi
E
Partial oclusi
Daerah paru menjadi padat
Luas permukaan membran respirasi
Penurunan rasio ventilasi-perfusi













Hipoksemia
Kerusakan pertukaran gas
Kapasitas difusi menurun
                                                                                                                                      




( Irman Somantri, 2009 )





H.    Patofisiologi

Pneumonia dikelompokkan berdasarkan sejumlah sistem yang berlainan. Salah satu di antaranya adalah berdasarkan cara diperolehnya, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu community-acquired (diperoleh diluar sarana kesehatan) dan hospital-acquired (diperoleh di rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya). Streptococcus pneumoniae menjadi penyebab tersering terjadinya pneumonia yang didapat di luar sarana pelayanan kesehatan. Pneumonia yang didapat di rumah sakit cenderung bersifat lebih serius karena pada saat menjalani perawatan di rumah sakit, sistem pertahanan tubuh penderita untuk melawan infeksi sering kali terganggu. Selain itu, kemungkinan terjadinya infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik menjadi lebih besar.
Gambaran patologis dalam batas tertentu bergantung pada agen etiologis. Pneumonia bakteri ditandai oleh eksudat intraalveolar supuratif disertai konsolidasi. Proses infeksi dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi. Jika terjadi pada satu atau lebih lobus disebut dengan pneumonia lobaris, sedangkan pneumonia lobularis atau bronkopneumonia menunjukkan penyebaran daerah infeksi yang memiliki bercak dengan diameter sekitar 3-4 cm mengelilingi dan mengenai bronkus.
Penting juga diketahui tentang perbedaan antara pneumonia yang didapat dari masyarakat dengan pneumoia yang didapat di rumah sakit. Frekuensi relatif dari agen-agen penyebab pneumonia berbeda pada kedua sumber ini. Infeksi nosokomial lebih sering disebabkan oleh bakteri gram-negatif atau Staphyloccocus aureus.
           
Stadium dari pneumonia karena Pneumococcus adalah sebagai berikut.
1.      Kongesti (4-12 jam pertama): eksudat serosa masuk kedalam alveolus dari pembuluh darah yang bocor.
2.      Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): paru-paru tampak merah dan tampak bergranula karena sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveolus.
3.      Hepatisasi kelabu (3-8 hari): paru-paru tampak abu-abu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi dalam alveolus yang terserang.
4.      Resolusi (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali kepada struktur semula. ( Irman Somantri, 2009 )
     Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan nafas. Saluran nafas bagian bawah yan normal adalah steril, walaupun bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang di hirup. Sterilisasi saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan pembersihan yang efektif.
Saat terjadi inhalasi-bakteri mikroorganisme penyebab pneumonia ataupun akibat dari penyebaran secara hematogen dari tubuh dan aspirasi melalui orofaring-tubuh pertama kali akan melakukan mekanisme pertahanan primer dengan meningkatkan respons pandang.
Timbulnya hepatisasi merah dikarenakan perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Pada tingkat lanjut aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit eritrosit. Kuman Pneumococcus difagosit oleh leukosit dan sewaktu resolusi berlangsung makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan leukosit beserta kuman. Paru masuk ke dalam tahap hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan. Secara perlahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin di buang ke alveoli. Trejadi resolusi sempurna. Paru kembali menjadi normal tanpa kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas. ( Irman Somantri, 2009 )
F.Asuhan Keperawatan Klien Pneumonia
1.      Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan adalah sesak napas, batuk dan peningkatan suhu tubuh / demam.
2.      Biodata
Pneumonia lobaris sering terjadi secara primer pada orang dewasa, sedangkan pneumonia lobularis (bronkopneumonia) primer lebih sering terjadi pada anak-anak. Ketika seorang dewasa mempunyai penyakit bronkopneumonia, kemungkinan ada penyakit yang mendahuluinya.
Pneumonia pada orang dewasa paling sering disebabkan oleh bakteri (yang tersering yaitu bakteri streptoccocus pneumoniae pneumococcus), sedangkan pada anak-anak penyebabnya adalah virus pernapasan. Penting diketahui bahwa usia 2-3 tahun, merupakan usia puncak pada anak-anak untuk terserang pneumonia. Pada usia sekolah, pneumonia paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae. Bayi dan anak-anak lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia sering kali menjadi infeksi terakhir (sekunder) pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit tertentu.
3.      Riwayat Kesehatan
·        Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan utama yang sering timbul pada klien pneumonia adalah adanya awitan yang ditandai dengan keluhan menggigil, demam ≥ 40̊ C, nyeri pleuritik, batuk, sputum berwarna seperti karat, takipnea terutama setelah adanya konsolidasi paru.
·         Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pneumonia sering kali timbul setelah infeksi saluran napas atas (infksi pada hidung dan tenggorokan). Resiko tinggi timbul pada klien dengan riwayat alkoholik, post-operasi, infeksi pernapasan, dan klien dengan imunosupresi (kelemahan dalam sistem imun). Hampir 60% dari klien kritis di ICU  dapat menderita pneumonia dan 50% (separuhnya) akan meninggal.
4.      Pemeriksaan Fisik
Presentasi bervariasi bergantung pada etiologi, usia dan keadaan klinis
(Sudoyo, 2006)
1.      Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. Pneumoniae, Streptococcus spp, dan Sthapyloccucusus. Pneumonia virus di tandai dengan mialgia, malaise, batuk kering yang nonproduktif.
2.      Awitan yang tidak terlihat dan ringan pada orang tua/orang dengan penurunan imunitas akibat kuman yang kurang patogen/oportunistik.
3        Tanda-tanda fisik pada pneumonia klasik yang biasa dijumpai adalah demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang dullness, ronchi nyaring, serta siara pernapasan bronkial).
4        Ronchi basah dan gesekan pleura dapat terdengar di atas jaringan yang terserang karena eksudat dan fibrin dalam alveolus. ( Irman Somantri, 2009 )
Keadaan umum pada klien dapat dilakukan dengan cara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Dan pengkuran GCS bila kesadran pasien menurun yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penilaian.
Pemeriksaan tanda-tanda vital biasanya mengalami peningkatan suhu 40°C, frekuensi napas meningkat, dari frekuensi normal, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan. Dan apabila tidak melibatkan fungsi sistemisyang berpengaruh pada hemodinamika kardiovaskulertekanan darah biasanya tidak masalah.
B1 ( Breathing )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan pnemonia merupakan pemeriksaan fokus, berurutan pemeriksaan ini terdiri atas :
a.      Inspeksi : bentuk dada, gerakan pernapasan, gerakan pernapasan simetris. Sering ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal, serta adanya reaksi sternum. Napas cuping hidung pada sesak berat dialami terutama oleh anak-anak. Batuk dan sputum, saat dilakukan pengkajian batuk pada klien dengan pneumonia biasanya terdapat batu produktif, disertai dengan adanya peningkatan produksi sekret dan sekresti sputum yang purulen. 
b.       Palpasi : gerakan dinding, pada palpasi klien dengan pneumonia, gerakan dada saat bernapas biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri. Getaran suara, fremitus fokal normal.
c.      Perkusi : klien dengan pneumonia disertai komplikasi, biasanya di dapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. bu nyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia didapatkan apabila bronkhopnemonia menjadi suatu sarang.
d.     Auskultasi : didapatkan bunyi nafas melemah dan bunyi napas tambahanronkhi basah pada sisi yang sakit, penting bagi perawat untuk mendokumentasikan hasil auskultasi daerah mana adanya ronkhi.
B2 ( blood )
a.      Inspeksi : didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum.
b.      Palpasi : denyut nadi perifer melemah
c.      Perkusi : batas jantung tidak mengalami pergeseran
d.     Aukultasi : tekanan darah biasanya normal, bunyi jantung tambahan biasanya tidak di dapatkan

B3 ( Brain )
Sering  terjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif wajah klien tampak meringis, menangis, merintih, mergang dan menggeliat.
B4 ( Bladder )
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan, oleh karena itu. Perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
B5 ( Bowel )
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
B6 ( Bone )
Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan ketergantunganklien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari. ( Arif Muttaqin, 2008 )  
5.      Diagnosis Keperawatan
a.       Bersihan jalan nafas tidak  efektif b.d : Inflamasi trakeobronkial, pembentukan udema, dan penungkatan produksi spuntum Pleuritik pain.
b.      Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan: Perubahan membran alveolar kapiler (efek inflamasi), Gangguan kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah (demam, perubahan kurva oksihemoglobin).
6.      Perencanaan
a.       Tujuan : Jalan nafas bersih dan efektif setelah 3x 24 jam perawatan, dengan kriteria:
1.      Secara verbal tidak ada keluhan sesak.
2.      Suara nafas normal (vesikula)
3.      Sianosis (-)
4.      Batuk (-)
5.      Jumlah peranafasan dalam batas normal sesuai usia.
             
Intervensi :
              Mandiri
a.       Kaji jumlah/kedalaman pernafasan dan pergerakan dada.
b.      Auskultasi daerah paru, catat area yang menurun/tidak adanya aliran udara,dan adanya suara nafas tambahan seperti crakles,wheezees.
c.       Evelasi kepala, sering ubah posisi.
d.      Bantu klien dalam melakukan latihan nafas dalam. Demonstrasikan/bantu klien belajar untuk batuk,misal menahan dada dan batuk efektif pada saat posisi tegak lurus.
e.       Lakukan suction atas indikasi.
f.       Berikan cairan kurang lebih 2.500ml/hari (jika tidak   ada kontraindikasi).
g.      Berikan air hangat.
              Kolaborasi
a.       Kaji efek dari pemberian nebulizer dan fisioterapi pernafasan lainnya, misalnya Incentive Spirometer,IPPB,perkusi,postural drainase. Lakukan tindakan selang di antara makan dan batasi cairan jika cairan sudah mencukupi.
b.      Berikan pengobatan atas indikasi, misalnya mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, dan analgesik.
c.       Berikan cairan suplemen misal IV, humidifikasi okssigen dan room humidification.
d.      Monitor serial X-Ray dada, ABGs, Pulse Oximetry. Bantu dengan bronkoskopi/torasentesis, jika diindikasikan.
Rasional :  Evaluasi awal untuk melihat kemampuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan.Penurunan aliran udara timbul pada area yang konsolidasi dengan cairan. Suara napas bronkial ( normal diatas bronkus ) dapat juga Crackles, ronchi, dan wheezes terdengar pada saat inpirasi dan atau ekpirasi sebagai respon dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi saluran napas Diafragma yang lebih rendah akan membantu dalam peningkatan ekspirasi dada, pengisian udara, mobilisasi, dan ekspetorasi dari sekresi.

Nafas dalam akan memfasilitasi ekspansi maksimum paru/saluran udara kecil. Batuk merupakan mekanisme pembersihan diri normal,dibantu silia untuk memelihara kepatenan saluran udara. Menahan dada akan membantu untuk mengurangi ketidaknyamanan, dan posisi tegak lurus akan memberikan tekanan lebih untuk batuk.Stimulasi batuk atau pembersihan saluran nafas secara mekanis pada klien yang tidak dapat melakukannya dikarenakan ketidakefektifan batuk atau penurunan kesadaran. Cairan (terutama cairan hangat) akan membantu memobilisasi dan mengekspektorasi sekret. Memfasilitasi pencairan dan pengeluaran sekret. Postural drainase mungkin tidak efektif pada pneumonia interstisial atau yang disebabkan eksudat/destruksi dari alveolar. Koordinasi penatalaksanaan/jadwal dan oral intake akan mengurangi kemungkinan muntah dengan batuk, ekspektorasi. Membantu mengurangi bronkospasme dengan mobilisasi dari sekret. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa tidak nyaman ketika klien melakukan usaha batuk, tetapi harus digunakan sesuai penyebabnya. Cairan diberikan untuk mengganti kehilangan (termasuk insesble/IWL) dan membantu mobilisasi sekret. Untuk mengetahui kemajuan dan efek dari proses penyakit serta memfasilitasi kebutuhan untuk perubahan terapi. Kadang-kadang diperlukan untuk mengeluarkan sumbatan mukus, sekret yang purulen, dan atau mencegah atelektasis.
b.      Tujuan : Pertukaran gas dapat teratasi setelah 3 x24 jam perawatan dengan kriteria:
1.      Keluhan dispnea berkurang;
2.      Denyut nadi dalam rentang normal dan irama reguler;
3.      Kesadaran penuh;
4.      Hasil nilai analisis gas darah dalam batas normal.
              Intervensi :
              Mandiri
a.       Observasi warna kulit, catat adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis pusat (sirkumoral)
b.      Kaji status mental
c.       Monitor denyut/irama jantung
d.      Monitor suhu tubuh atas indikasi. Lakukan tindakan mengurangi demam dan menggigil, misal ganti posisi, suhu ruangan yang nyaman, kompres( tepid or cool water sponge).
e.       Pertahankan bedrest. Anjurkan untuk menggunakan teknik relaksasi dan aktivitas diversi (hiburan).
f.       Elevasi kepala dan anjurkan perubahan posisi,nafas, dan batuk efektif.
g.      Kaji tingkat kecemasan. Anjurkan untuk menceritakan secara verbal. Jawab pertanyaan secara bijaksana. Monitor keadaan klien sesering mingkin, atur pengunjung untuk tinggal bersama klien atas indikasi.
h.      Observasi kondisi yang memburuk,catat adanya  hipotensi, sputum berdarah, pallor,sianosis, perubahan dalam tingkat kesadaran, dispnea berat, dan kelemahan.
i.        Siapkan untuk dilakukan tindakan keperawatan kritis jika diindikasikan.
              Kolaborasi
a.       Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan, misal nasal prong, masker.
b.      Monitor ABGs, pulse oksimetry
Rasional : Sianosis kuku menggambarkan  vasokonstriksi atau respons tubuh terhadap demam. Sianosis cuping telinga, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut dapat mengindikasikan adanya hipoksemia sistemik. Kelemahan, iritable, bingung, dan somnolen dapat merefleksikan adanya hipoksemia/penurunan oksigenasi serebral. Takikardi biasanya timbul sebagai hasil dari demam/dehidrasi tetapi dapat juga sebagai respons terhadap hipoksemia. Demam tinggi (biasanya pada pneumonia bakteri dan influenza) akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsumsi  oksigen serta mengubah oksigenasi selular.Mencegah kelelahan dan mengurangi konsumsi oksigen untuk memfasilitasi resolusi infeksi. Tindakan ini akan meningkatkan inspirasi maksimal, mempermudah ekspektorasi dari sekret untik meningkatkan ventilasi. Kecemasan merupakan manifestasi dari psikologis sebagai respons fisiologis terhadap hipoksia. Memberikan ketentraman dan meningkatkan perasaan aman akan mengurangi masalah psikologis. Oleh karena itu, akan menurunkan kebutuhan oksigen dan respons psikologis yang merugikan. Syok dan edema pulmonar merupakan penyebab yang sering menyebabkan kematian pada pneumonia, oleh karena itu memerlukan intervensi medis secepatnya.Intubasi dan ventilasi mekanis dilakukan pada kondisi insufisiensi respirasi berat. Pemberian terapi oksigen untuk memelihara PaO2 di atas 60 mmHg, oksigen yang diberikan sesuai dengan toleransi dari klien. Untuk mengikuti kemajuan proses penyakit dan memfasilitasi perubahan dalam terapi oksigen.Selama peride ini, potensial berkembang menjadi komplikasi yang lebih fatal (hipotensi/syok)
( Irman Somantri. 2009 )
























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pneumonia adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda dasing.

B. SARAN
         a. Aspek penyakit pneumonia harus dipahami untuk dapat mengatasi dengan baik.
         b. Tindakan pencegahan harus diambil untuk mengurangi angka morbilitas penyakit.
         c. Faktor resiko penyebab pneumonia harus dikurangi/dihindari.

















DAFTAR PUSTAKA
Somantri Irman, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan Edisi 2, 2009. Salemba Medika : Jakarta
Muttaqin Arif, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan, 2008. Salemba Medika : Jakarta. 
Asih & Effendy.(2004). Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit EGC
Wilkinson .M. Judith. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, 2006. EGC : Jakarta.